waktu
Selasa, 30 November 2010
Perkembangan Gerakan Mahasiswa Indonesia
Pertama, mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horizon yang lebih luas untuk bergerak dalam atau di antara lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa merupakan kelompok yang paling lama menduduki bangku pendidikan—sekolah sampai perguruan tinggi—sehingga telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Dengan demikian, mahasiswa mempunyai pengatahuan yang relatif baik dibandingkan dengan kelompok lain. Ketiga, kehidupan kampus mementuk gaya yang unik di kalangan mahasiswa. Di kampus, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa, dan agama menjalin interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka perguruan tinggi telah mengkristal sebagai basis pembentukan akulturasi sosial dan budaya di kalangan angkatan muda. Keempat, mahasiswa merupakan kalangan “elit” di kalangan angkatan muda karena mewakili kelompok yang bakal memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian, dan prestise dalam masyarakat. Kelima, meningkatnya kepemimpinan di kalangan angkatan muda tidak terlepas dari perubahan orientasi masyarakat.
Sejauh menyangkut dunia perguruan tinggi, kita tahu bahwa mahasiswa termasuk dalam barisan depan dalam penumbangan PKI dan Orde Lama. Melalui Angkatan 66 mahasiswa dan dunia kampus menunjukkan sekaligus membuktikan kepedulian (concern) dan komitmennya terhadap masa depan bangsa. Tetapi pada segi lain, kemunculan Angkatan 66 juga memperlihatkan kegiatan lain: keterlibatan kampus dan mahasiswa yang cukup intens dalam kancah dan perubahan politik di tanah air. Melalui Dewan Mahasiswa (DM) dan Senat Mahasiswa (SM), mahasiswa Indonesia mengekspresikan dan mewujudkan aspirasi politiknya.
Maka kebangkitan antara periode Orde Baru sampai 1978 adalah masa-masa kejayaan politik mahasiswa. Dalam kerangka politik ini, mahasiswa Indonesia memainkan peranan sebagai “moral force” (kekuatan moral), yang pada esensi bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan perkembangan politik, ekonomi, dan pembangunan yang dalam kaca mata mereka tidak selaras dengan cita-cita bangsa. Dalam fungsi sebagai “moral force” itulah kemudian, seolah tak terelakkan, mahasiswa berbenturan dan terlibat dalam konflik dengan penguasa. Konsekuensinya, masa-masa “bulan-bulan madu” antara mahasiswa dengan pemerintah dengan segera lenyap, begitu mahasiswa mengkritik dan mempertanyakan kebijaksanaan dan arah pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam kerangka inilah kita melihat munculnya protes, misalnya terhadap gagasan pembangunan TMII yang digagas Ibu Tien Soeharto yang dipandang sebagai “proyek mercusuar”, isu anti korupsi, gerakan tidak percaya pada Pemilu 1971 yang kemudian melahirkan gerakan “Golongan Putih” yang dipelopori oleh Arief Budiman. Puncak dari “kegelisahan” mahasiswa ini terlihat dalam kasus Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Memandang bahwa perekonomian Indonesia berkecenderungan kuat didominasi oleh kekuatan luar negeri, mahasiswa meluncurkan protes keras terhadap kunjungan Menteri Luar Negeri Jepang, yakni Tanaka yang memunculkan Hariman Siregar sebagai the new leader gerakan mahasiswa. Protes yang berakhir dengan kerusuhan ini merupakan titik nadir dari “kemesraan” hubungan antara mahasiswa dengan penguasa pada masa-masa sebelumnya. Dan sejak itulah pemerintah mulai memikirkan “penataan” kehidupan kampus. Tema semacam “back to campus” mulai digencarkan. Hasilnya, pemerintah mulai mengeluarkan SK No. 028/U/1974 tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan dalam rangka “Pembinaan Kehidupan Kampus Pergutuan Tinggi”. Dalam peraturan yang menyertai SK ini ditegaskan bahwa kegiatan politik kampus harus dialihkan pada kegiatan ilmiah.
Tapi SK dan peraturan itu tampaknya tidak menamatkan kegiatan politik mahasiswa. Menjelang 1978—berkaitan dengan Pemilu dan SU MPR—gerakan mahasiswa kembali menemukan momentumnya. Puncak dari “Gerakan 78” ini adalah “mempertanyakan kepemimpinan nasional”. Akibatnya, pemerintah melancarkan penataan kegiatan kampus secara lebih intens. Mendikbud Daud Jusuf mengeluarkan SK No. 156/U/1978 tentang “Normalisasi Kehidupan Kampus” yang menetapkan pembubaran Dewan Mahasiswa (DM) dan pembentukan organisasi Badan Koordinasi Kegiatan (BKK)—yang diketuai oleh Pembantu Rektor III. Dengan demikian, tamatlah riwayat “student government” yang independen dari penguasaan dan kekuasaan penguasa kampus.
Dampak bagi pembubaran DM dan pembentukan BKK amat fatal bagi kegiatan mahasiswa. Sejak saat inilah mulainya kelesuan kehidupan kampus. Dengan NKK/BKK mahasiswa mengalami proses pengkredilan berpikir dan pembonsaian visi dan idealisme. Kenyataan ini tidak hanya melanda organisasi intra universiter, tapi juga organisasi ekstra universiter, khususnya HMI, PMII, IMM, GMNI, PKKRI, dan lain-lain. Penetrasi dan pengaruh organisasi ekstra yang sebelumnya sangat dominan di kampus juga berhasil dijinakkan oleh pemerintah. Slogan mahasiswa sebagai “moral force” kini diganti dengan “slogan” baru, yakni “buku, pesta, dan cinta”. Inilah kerugian terbesar pada era pasca-Malari yang tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah mahasiswa.3
Berbarengan dengan perkembangan ini pemerintah sejak dekade 80-an memperkenalkan sistem kredit semester (SKS), yang memperpendek masa studi mahasiswa. Semua perkembangan ini membuat mahasiswa menjadi “inward oriented”—berorientasi ke dalam diri mereka sendiri; lebih asyik dengan kegiatan perkuliahan dan penyelesaian gelar.
Kelumpuhan organisasi intra dan ekstra universiter jika dilihat dari sudut pengembangan kehidupan keagamaan di kampus justru menjadi blessing in disguise—rahmat terselubung. Hilangnya kesempatan berkiprah dalam organisasi-organisasi intra dan ekstra universiter yang established (mapan)—dan karena itu sulit bergerak—menggiring mahasiswa kepada pembentukan kelompok-kelompok yang mengorientasikan diri pada pengembangan kegiatan-kegiatan ilmiah, keagamaan, dan aksi sosial. Dalam kerangka inilah kita menyaksikan kebangkitan masjid-masjid kampus; yang paling terkenal di antaranya, tentu saja, Masjid Salman di ITB Bandung, Masjid Al-Ghifari di IPB Bogor, Masjid Salahuddin UGM di Yogyakarta, Masjid Arief Rahman Hakim UI Jakarta, dll. Penting dicatat, kecuali aktif di masjid-masjid kampus, tidak sedikit pula mahasiswa yang mengambil prakarsa dalam pembentukan dan terlibat secara intens dalam organisasi remaja di luar kampus. Untuk menyebut beberapa organisasi paling terkenal saja, misalnya, Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Al-Azhar Jakarta, Remaja Islam (Masjid) Sunda Kelapa (RISKA) dan banyak lagi.
Memasuki era 1990-an gerakan mahasiswa muncul dengan paradigma baru, yaitu kuatnya pengaruh luar kampus terhadap pemikiran mahasiswa. Berhasilnya proyek NKK/BKK membuat aktivitas mahasiswa mencari ruang gerak yang lebih luas karena keterbatasan yang diciptakan oleh pola kehidupan kampus pasca Dewan Mahasiswa (DM). Kehidupan luar kampus yang ditemui mahasiswa lebih “nyaman” karena mereka tidak terikat dengan payung universitas yang sangat ketat.
Paling tidak ada dua model kehidupan luar kampus yang berpengaruh terhadap perkembangan gerakan mahasiswa pada awal 1990-an.
Pertama, corak LSM radikal yang tidak memerlukan legitimasi formal. Anas Urbaningrum mengatakan bahwa gejala gerakan non-afliatif ini berkembang dan mahasiswa semakin kreatif membentuk kelompok-kelompok informal yang menekankan solidaritas “ideologi gerakan” secara radikal.4 Corak seperti inilah yang melahirkan pelbagai kelompok yang berwacana kiri, seperti SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dengan tokohnya Andi Arief (Fisipol UGM) dan Nezar Patria (Filsafat UGM) yang masing-masing sebagai ketua dan sekretaris, PRD (Partai Rakyat Demokrat) yang dikomandani oleh Budiman Sudjatmiko, atau JAKKER (Jaringan Karya Kesenian Rakyat) dengan tokoh-tokohnya Wiji Thukul, Kiswondo (Sastra UGM), Alexander Edwin (Filsafat UGM), Farid Hilman, Wison (Sastra UI), I.G. Ayu Agung Putri (Fisip Unair), dan lain-lain.
Kedua, seperti telah disebut sebelumnya, munculnya gerakan yang berbasiskan mesjid; gerakan-gerakan mahasiswa Islam yang berbasiskan mesjid kampus. Ini menjadi semacam kekuatan baru dalam pergerakan mahasiswa Indonesia di tahun 1990-an. Kelompok kedua ini mencapai “hasil” lebih awal dibandingkan dengan kelompok pertama. Ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan mereka melawan perdagangan SDSB sampai di halaman Istana Negera. Keberhasilan ini memicu perkembangan gerakan mahasiswa menjadi lebih fokus karena timbulnya keyakinan bahwa rezim yang berkuasa (baca: Soeharto) tidak sekuat yang diperkirakan. Artinya, keberhasilan gerakan mahasiswa Islam tersebut menjadi “darah baru” pergerakan mahasiswa Indonesia.
Penolakan terhadap SDSB yang dipimpin oleh Egi Sujana pada 1994 adalah langkah awal bermulanya teori “lingkaran obat nyamuk”. Peristiwa tersebut menjadi simpul awal bergeraknya perlawanan mahasiswa samapi ke pusat kekuasaan. Gerakan tersebut menjadi starting point berubahnya gerakan mahasiswa kepada agenda yang lebih nyata; agenda aksi. Puncak dari gerakan mahasiswa pada era 1990-an adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998 setelah berkuasa sekitar 32 tahun.
Gerakan mahasiswa pada era reformasi dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode. Pertama, periode gerakan yang dilakukan sampai kejatuhan Soeharto. Periode ini adalah puncak perlawanan mahasiswa terhadap represi yang dilakukan penguasa dalam waktu yang panjang. Memahami gerakan mahasiswa pada waktu ini lebih mudah karena memiliki goal yang jelas; turunkan Soeharto sebagai common enemy. Kedua, periode gerakan mahasiswa yang pasca lengsernya Soeharto. Imam B. Prasojo mengatakan bahwa gerakan mahasiswa pada waktu ini ternyata lebih sulit dipahami karena terjadinya fragmentasi gerakan dalam berbagai kelompok. Masing-masing kelompok memiliki agenda dan strategi yang berbeda. Ia lebih lanjut menegaskan bahwa sumber fragmentasi pada awalnya terjadi akibat polarisasi mahasiswa menyikapi peralihan dari Soeharto kepada B.J. Habibie.5
sayap pena @yahoo.co.id
Selasa, 09 November 2010
BUKAN SEKEDAR MAHASISWA
Banyak teman-teman atau pun orang muda yang berada disekitar kita bercita-cita untuk meneruskan studinya ke perguruan tinggi , tetapi tidak semua dari mereka memperoleh apa yang dicita-citakanya itu. Kita semua patut bersyukur karena sampai saat ini status seorang mahasiswa (Civitas Akademika) masih tersandang pada diri kita. Tetapi tahukah kita, bahwa dibalik kata mahasiswa itu ada amanah dan tanggung jawab besar yang harus kita kerjakan. Disisi lain ada sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama yakni, apakah kita hanya kuliah saja sebagai mahasiswa sementara ada amanah dan tanggung jawab besar yang harus kita tunaikan untuk keluarga,masyarakat dan bangsa ini ??
Sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya, bahwa berbagai perubahan besar dalam persimpangan sejarah negri ini senantiasa menempatkan mahasiswa dalam posisi terhormat sebagai pahlawanya(a hero).itu semua adalah kerja para mahasiswa pendahulu kita , dan sekarang generasi –generasi pembaharu harus meneruskan perjuangan ini. Perjuangan disini adalah perjuangan di dalam menegakan kebenaran dan moralitas yang kini mulai luntur dikalangan mahasiswa .
Seorang dosen dari fakultas Ushuluddin, ditengah perkuliahanya pernah menyampaikan sebuah statemen yang menurut saya ini logis. Dia mengatakan “ kalian janganlah menjadi mahasiswa yang independen “, sudah saat kalian masuk dan bergabung kedalam suatu organisasi”. Sebenarnya penjelasan beliau agak panjang dan disampaikan dengan nada yang tegas . Apabila kita menganalisis, ada sebuah makna mendalam yang tersirat dari perkataan beliau. Dari perkataanya beliau menyerukan agar kita menimba pengalaman melalui organisasi dan kita “dilarang” menyendiri . Carilah teman sebanyak –banyaknya sebagai jaringan yang akan membantu kita di masa depan .
Kuliahku VS Organisasiku
Banyak orang yang berdilema dengan organisasi dan study. Ada yang berangapan bahwa organisasi itu mengganggu kuliah dan sebaliknya ada tipe mahasiswa yang focus kepada organisasi sehingga kuliahnya pun terabaikan. Menurut hemat saya, kedua hal diatas bisa di atur sebaik mungkin . bahkan kalau kita bisa me-menagemen sebaik mungkin akan terjadi peningkatan kualitas di dalam diri kita. Kuliah saja tidaklah cukup , karena amanah dan tanggung jawab yang besar di atas tidak bisa kita pikul seorang diri. Oleh Karena itu, selain menjadi seorang mahasiswa kita harus menjadi seorang aktivis atau aktivis dakwah-yakni sebutan bagi mereka yang masuk ke organisasi berbasis Islam dan mereka bersungguh-sunguh dalam memperjuangkan nilai-nilai keIslaman tersebut. ketahuilah saudaraku , studymu didalam kampus akan lebih bermakna serta berharga dengan menjadi mahasiswa sekaligus aktivis dakwah kampus (ADK).
Menjadi aktivis dakwah merupakan sebuah amanah dimana ada sebuah kewajiban yang kita harus lakukan. Aktivis dakwah merupakan orang yang peka terhadap kondisi lingkungannya mulai dari lingkungan keluarga, kampus , masyarakat , bangsa dan negara.
Itulah empat alasan penting yang membuat diri kita bukan sekedar menjadi mahasiswa biasa. Karena tidak semua orang yang menjadi mahasiswa menyandang gelar aktivis dakwah kampus. Hanya mereka yang mau membulatkan tekad, serta bersungguh-sungguh dalam menegakkan kebenaran dan menebarkan kebaikan, itulah mahasiswa yang menyandang gelar tambahan yakni seorang aktivis kampus. Dan jangan lupa, seorang aktivis yang sekaligus civitas akademika harus memiliki IP minimum, yakni ( 2,75 ) . organisatoris yang baik Insya Allah bisa mendpatkan yang lebih dari itu. Wallahu alam bisowab.